Jumat, 12 April 2013

THEORIES OF STREES AND COPING


RANGKUMAN
THEORIES OF STREES AND COPING
                                                            
Teori Dr. Hans Selye

A.     Definisi
Dr. Hans Selye tahun 1936, penggagas teori stress yang mendifinisikan stress sebagai “respon non-spesifik dari tubuh seseorang disebabkan oleh sesuatu bebanan yang menimpanya. Hans Selye menjelaskan modelnya stres berdasarkan fisiologi dan psychobiology yang dikenal dengan General Adaptation Syndrome.
B.     General Adaptation Syndrome (GAS)
GAS merupakan reaksi fisiologis akibat rangsangan fisik & psikososial. Bila individu terancam oleh stres, isyaratnya akan dikirim ke otak & otak mengirim informasi ke hipotalamus shg sistem saraf otonom & endokrin terstimulasi. Akibatnya terjadi perubahan fisiologis berupa gejala sistem saraf otonom & sistem endokrin.
Tiga satdium GAS :
1.       Stadium alarm
Dalam stadium ini tubuh menjadi siaga terhadap stresor, dan pertahanan tubuh dimobilisasi untuk melawan atau lari dari stresor (respons fight-or-flight).
2.       Stadium resistensi
Mencakup pertahanan fisik dan psikologis yang difokuskan pada penanggulangan stresor, melalui pertahanan hormonal dan saraf yang sudah dimobilisasi dari stadium alarm.
3.       Stadium kelelahan
Stadium akhir GAS, terjadi ketika stresor tidak dapat diatasi secara adekuat selama stadium  resistensi. Pada stadium 3 ini pertahanan tubuh gagal dan homeostasis tidak dapat dipertahankan sehingga individu memperlihatkan awitan keadaan penyakit tertentu.
C.     Pembagian Stress
Menurut Hans Selye, stress dibagi dua yaitu
1.       Distress : Stres yang negatif atau respon terhadap hal-hal atau kejadian yang bersifat negative. Stres dapat juga diartikan suatu hal yang menekan kita.
2.       Eustress : Stres yang positif atau respon terhadap hal-hal atau kejadian yang bersifat positif.  Eustress adalah stres yang menyebabkan anda beradaptasi dan meningkatkan kemampuan adaptasi Anda.


D.     Adaptasi Koping
Adaptasi     : Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari respon terhadap stressor.
Coping        : Tindakan penyeimbangan antara proses biologis, psikologis, dan sosial.
·         Adaptive Coping: Coping yang efektif berkontribusi resolusi dari respon stres
·         Maladaptif Coping: Strategi coping yang menyebabkan masalah lebih lanjut
·         Active Coping - Secara aktif mencari resolusi untuk stres





Teori Lazarus
 


A.     Definisi
Stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya (Lazarus & Folkman, 1984). Terdiri dari dua tahapan yaitu:
1. Primary appraisal
      Merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm (penilaian mengenai bahaya), threat (penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman), atau challenge (tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi). (Lazarus dalam Taylor, 1991).  Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
a.       Goal relevance
b.       Goal congruence or incongruenc
c.        Type of ego involvement
2. Secondary appraisal
      Merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi. Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
a.       Blame and credit
b.       Coping-potential
c.       Future expectancy

B.      Coping Stres
Koping with stres adalah Upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola kebutuhan eksternal dan / atau internal yang spesifik yang menuntut penilaian sumber daya yang dimiliki individu (Lazarus & Folkman, 1991). Dua strategi dalam coping stress menurut Lazarus yaitui :
a.       Problem-focused coping
Usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.
1)       Confrontative coping
2)       Seeking social support
3)       Planful problem solving
b.      Emotion-focused coping.
Usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
1)       Self-control
2)       Distancing
3)       Positive reappraisal
4)       Accepting responsibility
5)       Escape/avoidance

C. Coping Outcome
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Strategi coping mengacu pada coping task (lima fungsi tugas coping), yaitu :
a.       Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya
b.       Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
c.       Mempertahankan gambaran diri yang positif.
d.       Mempertahankan keseimbangan emosional.
e.       Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.













Referensi
Crowin E J. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
Frankl  F, 2011. General Adaptation Syndrome- Theory of Stress Hans Selye . Diunduh pada         tanggal 27 maret 2013 di                 http://www.currentnursing.com/nursing_theory/Selye%27s_stress_theory.html
Folkman, S and Lazarus, R S, (1980). An analysis of coping in a middle-aged community
            sample. Journal of Health and Social Behavior
International Center for Nutritional Research.The Nature of Stress. Diunduh pada tanggal 27 maret          2013 di http://www.icnr.com/articles/the-nature-of-stress.html
Kovacs M. 2007. Stress and coping in the workplace. Diunduh pada tanggal 27 maret 2013 di                 http://www.thepsychologist.org.uk/archive/archive_home.cfm/volumeID_20-                editionID_151-ArticleID_1239-getfile_getPDF/thepsychologist%5C0907kova.pdf
Krohne. 2002. Stress and Coping Theories. Diunduh pada 18 maret  2013 di http://userpage.fu-            berlin.de/schuez/folien/Krohne_Stress.pdf
Lazarus, R S, (1974). Psychological stress and coping in adaptation and illness. International
            Journal of Psychiatry in Medicine
Smeltzer SC, & Bare BG. [Edrs] . Brunner and Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing. 10th     edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2004


Assessment Model Giger & Davidhizar


TUGAS INDIVIDU
TRANSCULTURAL DAN HOLISTIK NURSING

 “ANALISIS ASSESSMENT  MODEL GIGER & DAVIDHIZAR”







OLEH
YUDI ABDUL MAJID
NPM: 220120120020









PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
TAHUN 2012


KATA PENGANTAR


            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
            Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pemahaman khususnya pada saya sendiri dan orang lain tentunya terutama terkait dengan topik Assessment Model dari Giger dan Davidhizar.
            Penulis makalah menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, ‘tidak ada gading yang tidak retak” maka tidak lupa penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat. Amin


                                                                                    Bandung,   September 2012
                                                                                                Penulis,

                                                                                         Yudi Abdul Majid













DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Kerangka Teori Assessment Giger & davidhizar............................................            4
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................             5
1.      Latar Belakang.....................................................................................           5
2.      Perumusan Masalah.............................................................................           6
3.      Tujuan Penulisan..................................................................................           6
4.      Sistematika Penulisan..........................................................................           6
BAB II. PEMBAHASAN..............................................................................            7
Analisi Assessment Model Giger & davidhizar
1.      Komunikasi ..........................................................................................         7
2.      Ruang....................................................................................................         8
3.      Variasi Biologi......................................................................................         9
4.      Pengendalian Lingkungan.....................................................................        10
5.      Waktu…................................................................................................        11
6.      Organisasi sosial....................................................................................         12
BAB III. PENUTUP.......................................................................................          13
1.      Simpulan................................................................................................         13
2.      Saran......................................................................................................         13
DAFTAR PUSTAKA









ANALISIS ASSESSMENT MODEL
(Giger, J. & Davidhizar, R. (1999)











BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebudayaan merupakan fenomena yang universal, yang memiliki gambaran yang khas tiap kelompok tertentu, mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat dan ketrampilan yang dimiliki anggota kelompok tersebut.
Penduduk dari kelompok sosiokultural yang berbeda akan mempunyai perbedaan budaya, kepercayaan, tata nilai dan gaya hidup. Beberapa faktor tersebut secara bermakana akan mempengaruhi cara individu berespon terhadap masalah keperawatan, terhadap pemberi pelayanan keperawatan dan terhadap keperawatan itu sendiri. Jika faktor tersebut tidak dipahami dan dihargai oleh pemberi pelayanan kesehatan, maka pelayanan keperawatan yang diberikan mungkin menjadi tidak efektif.
Adanya keragaman budaya akan menjadi jelas, bahwa pebedaan budaya harus dipertimbangkan, dipahami dan dihargai. dan pelayanan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan budaya yang dimiliki. Hal ini merupakan tantangan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan transkultural atau lintas budaya dengan perspektif global, yang didasari oleh teori “Transcultural Nursing”.
Transkultural nursing atau keperawatan transkultural adalah suatu area formal keilmuan dan praktek yang memfokuskan adanya perbedaan dan kesamaan dari budaya, kepercayaan, nilai-nilai dan cara hidup, untuk memberikan asuhan keperawatan yang kongruen secara budaya pada semua orang dengan latar belakang budaya berbeda, sehingga menjadi berarti dan bermanfaat bagi pelayanan kesehatan begitu juga dalam pemberian asuhan keperawatan (Leininger,2002)
Proses keperawatan merupakan satu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memungkinkan perawat dapat mengatur dan memberikan asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005). Proses keperawatan terdiri dari lima tahap, yakni: Pengkajian, Diagnosis Keperawatan, Perencanaan, Pelaksanaan. Dari tahapan tersebut langkah pengkajian merupakan langkah awal yang sangat penting bagi seorang perawat kesehatan sebelum melakukan tindakan keperawatan. Langkah awal yang harus dilakukan seseorang perawat dalam pengkajian adalah anamnese. Pada saat seorang perawat melakukan anamnese terjadi antara perawat dengan pasien atau klien saat itu terjadi transcultural nursing process.
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Langkah penilaian proses keperawatan sangat penting dalam hubungan antara pasien dan perawat. Untuk mengumpulkan data tentang pasien dari budaya yang berbeda perawat harus melihat pasien dalam konteks dimana ia berada mulai dari aspek komunikasi, ruang, variasi biologi, pengendalian lingkungan, waktu dan organisasi sosial hal ini sesuai dengan yang dikemukakan dalam Assessment Model  oleh Giger dan Davidhizar (1995).

I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah Dapatkah model pengkajian (assessment model) oleh Giger dan Davidhizar di aplikasikan dipraktik keperawatan diIndonesia.

1.3 Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis model pengkajian lintas budaya oleh Giger dan Davidhizar apakah dapat diaplikasikan di praktik keperawatan di Indonesia atau perlu ditambahi atau dikurangi.

I.4 Sistematika Penulisan
Sitematika dalam penulisan makalah ini terdiri BAB I : Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Selanjutnya BAB II : Pembahasan “Analisis Teori Assessment Model dari Giger dan Davidhizar . BAB III Kesimpulan.










BAB II
PEMBAHASAN

            Teori Assessment Model dari Giger dan Davidhizar ini mendiskripsikan enam fenomena budaya yang harus diperhatikan dan dijadikan sebagai alat untuk melakukan pengkajian tentang nilai budaya yang dianut klien yaitu aspek komunikasi, ruang, variasi biologi, pengendalian lingkungan, waktu dan organisasi sosial.

1.      Komunikasi
(Bahasa yang digunakan, kualitas suara, pengucapan, bahasa diam/isyarat, dan komunikasi non verbal)

Analisa:
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan atau langsung ataupun tidak langsung atau melalui media (Effendy, 1960). Jadi jika hal ini tidak berjalan semestinya biasanya akan terjadi miskomunikasi, hal ini yang sering menjadi masalah dipelayanan kesehatan terutama di rumah sakit karena klien tidak berasal dari budaya yang sama dengan petugas kesehatanan atau perawat sehingga perselisihan dapat timbul dari berbagai situasi.
Contoh ketika pasien dan perawat tidak berbicara dengan bahasa yang sama atau tidak saling mengenal bahasa yang digunakan. Apa yang harus kita lakukan?.
Komunikasi yang jelas dan efektif merupakan aspek penting ketika berhubungan dengan pasien, terutama jika perbedaan bahasa menciptakan rintangan budaya antara perawat dengan pasien. Ketidakberhasilan untuk berkomunikasi secara efektif dengan pasien akan menyebabkan penundaan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosis dan tindakan keperawatan. Perbedaan bahasa ini dapat diatasi dengan cara perawat meminta anggota keluarga menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan atau juga bisa meminta teman atau orang memahami bahasa yang digunakan pasein, halini  sesuai dengan definisi yang dikemukan oleh Effendy, 1960 bahwa komunikasi dapat juga disampaikan melalui komunikasi secara tidak langsung atau menggunakan media.
Keluarga dapat juga memberikan informasi tentang latar belakang pasien yang sangat bermanfaat dalam perawatan secara holistik. Selain itu menurut saya hal yang juga penting dalam komuniaksi antara perawat dan klien adalah kemampuan untuk mendengarkan karena untuk mendapatkan data yang spesifik pada saat pengkajian selain kita menggali data dengan bertanya kepada klien kita juga harus mampu mendengarkan apa yang disampikan oleh klien terutama yang terkait dengan masalah kesehatannya. 
Begitu juga dengan bahasa tubuh atau bahasa non verbal hal ini juga harus dipahami oleh kita sebagai perawat misalnya kita harus berhadapan, kontak mata atau melakukan sentuhan yang apabilah hal ini kita lakukan akan berpengaruh terhadap keberhasilan asuhan keperawatan yang kita berikan. Begitu juga dengan kebiasan komunikasi klien dengan latar belakang budaya sosialnya seperti kulitas suara dan pengucapan  (seperti orang-orang sumatera intonasi suara lebih keras jika dibandingkan dengan orang-orang dari pulau jawa) maka disinilah letaknya bahwa perawat sebaiknya mengetahui norma dan budaya dalam berkominkasi akan memfasilitasi pemahaman dan mengurangi miskomunikasi antara perawat dan klien.


2.      Ruang
(Observasi derajat kenyamanan, kedekatan dengan orang lain, gerakan tubuh, persepsi terhadap ruang).

Analisa:
Menurut saya kita selaku perawat memang harus tetap memberikan space atau ruang khusus kepada klien yang mencakup perilaku individu dan sikap yang ditunjukan pada ruang di sekitar mereka. Hanya saja akan sedikit mengalami kendala ketika klien dirawat diruang bangsal dimana dalam satu ruangan bangsal terdiri dari beberapa pasien dan kelurga yang menadampingi, dalam kondisi seperti ini kita selaku perawat akan sedikit sulit untuk memberikan ruang gerak atau space khusus untuk klien dan keluarga atau orang yang terdekat dengan klien karena kondisi ruangan tempat perawatan. Walaupun dengan kondisi tersebut space ini tetap menjadi hak bagi pasien, makan kita tetap memberikan space (teritorial klien) untuk mempertahankan kondisi yang nyaman bagi klien tetapi harus memperhatikan batasan sesuai dengan ketentuan atau standart dimana klien dirawat.
Teritorialitas adalah suatu sikap yang ditujukan pada suatu area seseorang yang diklaim dan dipertahankan atau bereaski secara emosional ketika orang lain memasuki area tersebut. Perawat harus mencoba untuk menghargai territorial pasien, terutama ketika melakukan tindakan keperawatan. Perawat juga harus menyambut anggota keluarga pasien yang mengunjungi pasien. Hal ini akan tetap mengingatkan pasien seperti di rumahnya sendiri, menurunkan efek isolasi dan syok akibat pelayanan atau tindakan keperawatan di rumah sakit.


3.      Variasi biologi
(Struktur tubuh yang terkait adalah warna kulit, tekstur rambut, dan karakteristik fisik lainnya, variasi enzimatik dan genetik, pola elektrokardiografi, kerentanan terhadap penyakit; preferensi gizi dan kekurangan, dan karakteristik psikologis, mekanisme koping dan dukungan sosial)

Analisa:
Melakukan penilaian fisik seperti struktur dan bentuk tubuh, warna kulit, perubahan warna kulit yang tidak biasa, warna dan distribusi rambut, berat badan, tinggi badan, variasi enzimatik dan genetik. Hal ini akan membantu kita mengidentifikasi beberapa ciri dimana seseorang dari satu kelompok budaya berbeda secara biologis.
Selama ini ditempat pelayanan kita baik dirumah sakit atau pelayanan lainya variasi biologi yang disebutkan diatas semuanya sudah dilakukan pengkajian kepada klien, hanya saja belum dikaitkan secara mendalam dengan latar belakang budaya yang klien miliki. Jadi menurut saya kedepannya kita memang harus mengkaji lebih dalam bahwa tampilan fisik atau variasi biologi klien baik dalam kondisi sehat dan terutama pada kondisi yang kurang sehat ada kaitanya dengan pola kebiasaan, nilai dan kebudayaan mereka.
Contoh Salah satu kebudyaan masyarakat yang lebih menyukai makanan yang tidak dimasak terlebih dahulu untuk dikonsumsi, maka menurut saya hal ini akan membeikan tampilan fisik atau masalah kesehatan yang khusus terkait dengan fisiknya karena pengaruh dari kebiasaan atau budaya masyarakatnaya tersebut. Begitu juga apakah ada perbedaan enzimatik atau hasil pemeriksaan EKG antara orang kulit hitam dengan orang yang berkulit putih dan variasi biologi yang lainnya dapat kita kaji dengan kaiatannya atau pengaruhnya terhadap kesehatan seseorang.


4.      Pengendalian lingkungan
(Praktek budaya kesehatan, definisi kesehatan dan penyakit, Orientasi nilai; percaya pada sihir, doa untuk perubahan kesehatan)

Analisa:
Kontrol lingkungan (environmental control), mengacu pada kemampuan anggota kelompok budaya tertentu untuk merencanakan aktivitas yang mengontrol sifat dan faktor lingkungan langsung. Termasuk di dalamnya adalah sistem keyakinan tradisional tentang kesehatan dan penyakit, praktek pengobatan tradisional, dan penggunaan penyembuhan tradisional.
Dalam hal control lingkungan ini di Indonesia dengan latar belakang budaya masyarakat yang beraneka ragam masih banyak sekali masayarakat dengan keyakinan budayanya untuk mengatasi masalah kesehatannya. Selaku perawat kita juga harus memahami apakah keyakinan yang dianut klien untuk mengatasi masalah kesehatan sesuai untuk mendukung proses penyembuhan atau mengarah kepada peningkatan kondisi kesehatan yang lebih baik atau tidak. Selagi hal tersebut sejalan dengan tujuan kesembuhan atau perawatan pasien  dan dapat diterima oleh logika kesehatan menurut saya kontrol lingkungan seperti itu tetap dapat dijalankan. Kecuali jika bertentangan dengan upaya kesembuhan dan peningkatan kondisi kesehatan klien.
Hal ini seseuai dengan teori of culture care yang dikemukan oleh Madeleine Leininger bahwa budaya yang dibawa klien atau pasien tersebut harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan ataupun tindakan keperawatan sehingga dapat mengkategorikan pada 3 hal pokok ini apakah budaya tersebut seseuai, bertentangan atau ada yang berpengaruh secara positif ada juga hal yang negatifnya. Berikut 3 hal pokok tersebut :
-          Culture care preservation and/or maintenance
-          Culture care accommodation and/or Negotiation
-          Culture care restructuring and/or repatterning


5.      Waktu
(Penggunaan waktu, durasi waktu, mendefinisikan waktu, waktu bersosial, orientasi watu kedepan, saat ini atau masa lalu)

Analisa:
Konsep berlalunya waktu, durasi waktu, dan definisi dalam waktu. Negara-negara seperti Inggris dan Cina tampaknya berorintasi masa lalu. Mereka menghargai tradisi, melakukan hal-hal yang selalu dilakukan. Individu dari negara-negara ini mungkin enggan untuk mencoba prosedur baru begitu juga dengan upaya untuk  kesehatan.
Orang-orang dari budaya yang berorientasi saat ini, cendrung berfokus pada disini dan sekarang. Mereka mungkin relatif tidak peduli dengan masa depan, mereka akan menghadapinya ketika masa itu datang. Amerika latin, penduduk asli Amerika, dan Timur Tengah yang berorientasi budaya masa depan dan dapat mengabaikan langkah-langkah preventif perawatan kesehatan.
Waktu atau orientasi waktu beragam di antara kelompok budaya yang berbeda, dan perawat mempunyai satu sikap yang ditujukan saat menemukan kesulitan untuk memahami dan merencanakan asuhan pada pasien dengan orientasi waktu yang berbeda. Misalnya perawat harus memperhatikan jam berapa klien seharusnya sholat sesuai dengan budaya atau keyakinan agamanya, jam berapa klien harus makan? ini juga harus diperhatikan jika saja dengan budayanya klien harus makan pagi jam 7, siang jam 12 dan malam jam 20 sementara dilapangan jadwal makan diatur pada waktu yang sama, padahal belum tentu jam makan klien dengan budaya dan asal berbeda sesuai dengan yang dijadwalkan tersebut. Maka inilah letaknya praktik keperawatan peka budaya hal-hal yang seperti ini harus diperhatikan sehingga pelayanan yang kita berikan didukung juga oleh kebiasaan atau culture klien.

6.      Organisasi sosial
(Budaya, ras, etnik, peran dan fungsi keluarga, pekerjaan, waktu luang, teman dan penggunaan tempat ibadah seperti masjid, gereja dll)

Analisa:
Pola prilaku budaya belajar melalui enkulturasi, proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang berpikir, punya kemampuan refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Mengakui dan menerima bahwa individu-individu dari latar belakang budaya yang berbeda-beda mungkin menginginkan berbagai tingkat akulturasi ke dalam budaya yang dominan. Faktor-faktor siklus harus diperhatikan dalam interaksi dengan individu dan keluarga (misalnya nilai tinggi ditempatkan pada keputusan orang tertua, peran orang tua – ayah atau ibu dalam keluarga).
Budaya tidak hanya ditentukan oleh etnistitas tetapi oleh faktor seperti geografi, usia, agama, jenis kelamin, orientasi, seksual dan status ekonomi. Memahami faktor usia dan siklus hidup harus diperhatikan dalam interaksi dengan semua individu dan keluarga.
Organisasi sosial atau social organizations, lingkungan sosial di mana seseorang dibesarkan dan bertempat tinggal merupakan peran penting dalam perkembangan dan identitas budaya mereka. Sebagai contoh ketika klien berada dipelayanan kesehatan seperti dirumah sakit mereka masih tetap perlu berkaitan dengan sosial organization misalnya tetap ingin menjalankan ibadah sholat secara berjamaah baik dengan keluarga atau dengan orang lain. Maka dalam hal ini rumah sakit yang jika memang peka terhadap budaya klien harus memfasilitasi. Begitu juga dengan budaya dari agama yang lainnya atau kegitan organisasi sosial lainnya.
BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
Berdasarkan dari bahasan tentang analisis Assesment Model  oleh Giger dan Davidhizar diatas dan bagaimana aplikatifnya di tatanan pelayanan kesehatan terutama pelayanan keperawatan di Indonesia maka penulis menyususn kesimpulan sebagai berikut:
  1. Keperawatan transkultural adalah suatu proses pemberian asuhan keperawatan yang difokuskan kepada individu dan kelompok untuk mempertahankan, meningkatkan perilaku sehat sesuai dengan latar belakang budaya.
  2. Pengkajian  yang merupakan salah satu point dalam asuhan keperawatan dalam konteks budaya sangat diperlukan untuk menjembatani perbedaan pengetahuan yang dimiliki oleh perawat dengan klien.
  3. Teori Assesment model Giger dan Davidhizar dari keenam fenomena budaya (komunikasi, Ruang, variasi biologi, pengendalian lingkungan, waktu dan organisasi sosial) tersebut  dapat diterapkan di tantanan pelayan kesehatan di Indonesia namun harus diperhatikan dan dikaji secara mendalam supaya dapat melihat bahwa kemungkinan adanya pengaruh yang spesifik dari kebiasaan budayanya dengan maslah kesehatan klien.

3.2 Saran
            Praktik keperawatan peka budaya harus menjadi bagian dari program atau kurikulum pendidikan mulai dari jenjang diploma, sarjana dan magister keperawatan. Sehingga aplikasinya nanti perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan peka terhadap budaya klien atau pasien, dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaannya inilah perawat harus bisa menganalisis atau mengkategorikan bahwa budaya klien tersebut sesuai tidak dangan asuhan keperawatan yang diberikan. jika sesuai budaya yang seperti ini dapat dipertahankan (preservation/maintenance) untuk membantu proses penyembuhan, namun kalau budaya tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan proses penyembuhan maka harus diperbaiki (restructuring/repatterning). Begitu juga jika budaya yang dibawa klien ini ada pengaruh yang positif dan ada juga yang berdampak negatif terhadap proses penyembuhan maka hal yang seperti ini harus dipilah antara yang di akomodasi dan negosiasi.




























DAFTAR PUSTAKA

Giger Joyce Newman, Davidhizar Ruth Elaine, (2004) ; Transcultral Nursing          Assasement and Intervention, Fourth Edition, Mosby.

Joeliantina, Anita, (2001). Transkultural Nursing dan Proses Keperawatan. Jurnal   Keperawatan. VOL II No 1. Diunduh pada tanggal 26 Oktober 2012 di           http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31103639_1979-8091.pdf

Potter & Perry, (2005); Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan           Praktik , Edisi 4, EGC